Hari terakhir di Ho Chi Minh City saya mulai dengan berburu sunrise di Jembatan Phú Mỹ. Masih ada cukup waktu sebelum jadwal keberangkatan saya ke Phnom Penh. Pukul 05:00 saya membuka aplikasi Grab Bike dan Uber Moto berharap ada driver yang kecantol sepagi itu. Nihil. Saya keluar hotel dan mencari Xe Ôm. Ojek asli Vietnam ini disebut Xe Ôm, yang bila diartikan secara harfiah dalam bahasa Vietnam berarti
Xe Ôm |
Benar saja, di depan sebuah minimarket tak jauh dari hotel seorang driver Xe Ôm
sedang leyeh-leyeh di motornya. Setelah tawar menawar akhirnya disetujui
ongkos 50.000 VND untuk pulang pergi dari hotel menuju Nam Long
Bridgeview Playground sebuah spot khusus untuk mengabadikan sunrise di
Jembatan Phú Mỹ. Ongkosnya cukup mahal karena jaraknya juga lumayan, sekitar 7 km sekali jalan. Jembatan Phú Mỹ berada di Distrik 7, sedangkan hotel saya berada di Distrik 1.
Phú Mỹ Bridge |
Menjelang pukul 07:00 saya sudah kembali ke hotel. Mandi, sarapan, check-out
dan berjalan menuju kantor bis Phuong Heng. Tiba-tiba saya ingat
beberapa review perjalanan darat menyeberang ke Kamboja. Umumnya bis
akan transit di sebuah restoran yang overprice dan kurang jelas
preferensi halalnya. Jadi saya mengepak sebuah sandwich dan buah mangga.
Oya, semua hasil dokumentasi perjalanan ini saya jepret menggunakan
kamera dari handphone China berawalan huruf X. Jadi mohon maklum atas
kualitas gambarnya yang aduhai!
Egg & Mayo Sandwich + Mangga |
Tepat
pukul 08:30 bis berwarna dominan kuning ini nongol. Semua penumpang
masuk dan disinilah keanehan mulai terjadi. Koper dan semua barang
bawaan penumpang tidak boleh masuk bagasi kecuali personal bag. Tas dan koper ditinggal diluar
dan dijanjikan akan diangkut oleh kru. Memang, ketika semua penumpang
sudah naik, para kru dengan giat dan cepat menggotong satu persatu tas
dan koper penumpang untuk dijejalkan di kursi paling belakang bis. WTF!
Bis Phuong Heng |
Sempat
terjadi cek-cok antara penumpang dengan kru bus. Penumpang yang duduk
persis di depan tumpukan tas dan koper tersebut keberatan atas dua hal.
Pertama, kursi mereka tidak bisa reclining alias tidak bisa
direbahkan, tegak sepanjang perjalanan. Kedua, tumpukannya terlalu
tinggi dikhawatirkan kalau ngerem mendadak bisa rubuh ke mereka.
Meskipun berlangsung lama, perseteruan nampak tidak menemukan
kesepakatan terbaik. Bis mulai melaju meninggalkan Ho Chi Minh City dan
kondektur mulai mengumpulkan paspor para penumpang. Yah, setelah semua
kekacauan di awal keberangkatan, setidaknya layanan wifi di bis ini
cukup kencang. Nayamul!
Dari jumlah bis yang transit, nampaknya Depot Tela ini adalah perhentian utama hampir semua bis jurusan Ho Chi Minh - Phnom Penh vice versa. Selain pom bensin, di Depot Tela ini juga terdapat mini market, kedai cemilan, bahkan tersedia semacam warteg.
Meski bernama mirip singkong, tentu saja mini market Tela Five Start Mart disini tidak menjual hal ihwal singkong semacam Tela-Tela Crispy atau Singkong Melepuh seperti di tanah air. Justru yang menarik perhatian saya, di mini market ini dijual ketapel. Iya, ketapel alias catapult alias slingshot. Tapi perhatikan, bagian bawah ketapel ini mirip dengan gantungan kunci atau suvenir yang biasa ditemui di Bali semacam Pasar Seni Sukowati misalnya. Paham ya? Wkwkwkwk.
Courtesy of handphone china berawalan huruf X, di zoom! |
Bus
sempat berhenti di daerah sekitar Củ Chi karena ada dua penumpang perempuan
yang sudah tidak kuat menahan buang air kecil. Giliran bis berhenti,
hampir separuh penumpang ikutan ngantri di toilet termasuk saya. Bus
berhenti di sebuah kedai sederhana bernama Café - Giải Khát 346.
Sekitar pukul 11:15, bis mulai memasuki area luar gerbang perbatasan internasional, Mộc Bài. Oya, Mộc Bài
adalah gerbang perbatasan internasional milik Provinsi Tây Ninh,
Vietnam. Mitranya di seberang perbatasan adalah gerbang perbatasan
Bavet, Provinsi Svay Rieng, Kamboja. Anehnya, disini dua penumpang di
kursi seberang saya turun. Mau kemana mereka yang sedari tadi
menggunakan masker itu? Saya perhatikan lagi, ternyata hanya orangnya
saja yang turun. Tas dan barang bawaannya masih di kursi. Pipis? Kok barengan, kan laki-laki semua? Entahlah.
Kondektur
telah terlebih dahulu mengumpulkan paspor kami. Memang menurut beberapa
review, kondektur, pada gilirannya, mengurus seluruh prosedur. Tetapi
mengalami sendiri kondektur menghilang dan kami dibiarkan melakukan
semua prosedur imigrasi awal sendirian, that's a mini heart attack, dude! Begitu masuk, kami langsung berhadapan dengan pemeriksaan tas. Personal bag saja, koper dan bawaan besar tetap di bis.
Setelah mengambil tas dari mesin pemindai, kami pikir kami diharuskan antri seperti umumnya pos imigrasi untuk mendapatkan cap. Ternyata karena paspor diantrikan oleh kondektur, maka kami diharuskan menunggu sampai paspor diproses dan nanti akan dipanggil namanya satu-satu. Beberapa orang mulai celingukan termasuk saya yang sedikit was-was. Akhirnya dari hasil saling celingukan, orang-orang mulai mengenali rombongannya sendiri-sendiri dan membentuk sebuah grup. Saya berkenalan dengan Mr. Ullman. Pria paruh baya asal Swiss yang konon sudah "khatam" dengan jalur darat Vietnam-Kamboja. Beliau penggemar seni lukis sekaligus kolektor yang sudah malang melintang di kawasan ASEAN utamanya dua negara ini untuk jual-beli lukisan. Menurut pengakukannya tak hanya sangat bagus dan collectible, harganya cukup terjangkau. "Ah, pasti dijual lagi di Eropa dengan harga berkali lipat lebih mahal.." pikir saya jahil. Kemudian ada Jessa, Erica, Anne dan Stephanie, rombongandedek gemes dari Filipina. Serta satu lagi penumpang asal Korea Selatan yang kemana-mana selalu membawa raket tenisnya. Oleh Mr. Ullman dia dipanggil Kim Jong Un. So we called him, Kim. Wkwkwk. Di dalam bis, Mr. Ullman dan Kim duduk di depan saya, sedangkan pinoy girls berurutan berada dibelakang penumpang yang "menghilang" tadi.
"Sadly, our bus conductor didn't give money to the immigration officer," Mr. Ullman membuka obrolan sambil menunjuk ke arah pos pemeriksaan. Menurutnya, pos imigrasi di kawasan ini memang biasa menerima "sisipan" sejumlah uang didalam paspor untuk mempercepat prosesnya. "Biasanya 15 menit kita sudah selesai. Lihat saja rombongan yang datang belakangan malah sudah lewat duluan," keluhnya. Kami hanya manggut-manggut mendengarkan penjelasan Mr. Ullman. Akhirnya, sekitar pukul 12:00, 45 menit kemudian, kondektur memanggil nama kami satu persatu. Masing-masing paspor telah dicap dan juga diberi kartu imigrasi masuk Kamboja.
Setelah mengambil tas dari mesin pemindai, kami pikir kami diharuskan antri seperti umumnya pos imigrasi untuk mendapatkan cap. Ternyata karena paspor diantrikan oleh kondektur, maka kami diharuskan menunggu sampai paspor diproses dan nanti akan dipanggil namanya satu-satu. Beberapa orang mulai celingukan termasuk saya yang sedikit was-was. Akhirnya dari hasil saling celingukan, orang-orang mulai mengenali rombongannya sendiri-sendiri dan membentuk sebuah grup. Saya berkenalan dengan Mr. Ullman. Pria paruh baya asal Swiss yang konon sudah "khatam" dengan jalur darat Vietnam-Kamboja. Beliau penggemar seni lukis sekaligus kolektor yang sudah malang melintang di kawasan ASEAN utamanya dua negara ini untuk jual-beli lukisan. Menurut pengakukannya tak hanya sangat bagus dan collectible, harganya cukup terjangkau. "Ah, pasti dijual lagi di Eropa dengan harga berkali lipat lebih mahal.." pikir saya jahil. Kemudian ada Jessa, Erica, Anne dan Stephanie, rombongan
"Sadly, our bus conductor didn't give money to the immigration officer," Mr. Ullman membuka obrolan sambil menunjuk ke arah pos pemeriksaan. Menurutnya, pos imigrasi di kawasan ini memang biasa menerima "sisipan" sejumlah uang didalam paspor untuk mempercepat prosesnya. "Biasanya 15 menit kita sudah selesai. Lihat saja rombongan yang datang belakangan malah sudah lewat duluan," keluhnya. Kami hanya manggut-manggut mendengarkan penjelasan Mr. Ullman. Akhirnya, sekitar pukul 12:00, 45 menit kemudian, kondektur memanggil nama kami satu persatu. Masing-masing paspor telah dicap dan juga diberi kartu imigrasi masuk Kamboja.
Kartu Imigrasi Kamboja |
Kiri bawah, penanda penumpang Bus Phuong Heng 3D-2388 |
Begitu
semua orang kembali, bis bergerak beberapa ratus meter ke pos
pemeriksaan Kamboja. Kami turun lagi dan menyerahkan paspor kami kepada
seorang petugas yang menyambut di muka pintu bis. Petugas ini melirik
wajah kami secara sekilas untuk membandingkannya dengan foto paspor.
Kami kemudian masuk dan langsung keluar dari gedung imigrasi. Hanya
lewat saja bahkan tidak pakai permisi apalagi mengucapkan Assamuallaikum. "Begitulah.
Formalitas saja. Tidak ada scan atau pemeriksaan yang dilakukan," Mr.
Ullman menjelaskan sambil terkekeh melihat muka heran kami dengan pos
imigrasi yang terkesan asal-asalan. Bis sudah menunggu kami di exit gate.
Bavet Border |
Mr.
Ullman kemudian menjelaskan kenapa tas dan koper kami tidak masuk
bagasi malah ditumpuk dibelakang. Juga kardus-kardus yang dijejalkan
dibawah kursi-kursi penumpang. "Bis atau angkutan penumpang tidak akan
diperiksa. Penumpang hanya turun untuk urusan paspor dan visa. Bis
diperbolehkan lewat begitu saja. Makanya banyak kru bis nakal yang
mengirim barang secara ilegal. Dan nampaknya, kru bis kita termasuk
dalam kategori tersebut." Begitulah, sejak awal saya juga bertanya-tanya
kenapa banyak kardus dijejalkan dibawah kursi penumpang. Tanpa
pemeriksaan imigrasi, berarti barang-barang ini lolos dari keimigrasian
atau bea cukai yang bisa jadi menghemat ongkos kirim. Hmm..
Kardus di bawah kaki saya |
"Where are they going? Their bags are still here," celetuk Jessa sambil menunjuk kursi di depannya yang masih kosong. "If goods can be smuggled, I think humans are also possible,"
jawab saya enteng. Mr. Ullman kemudian nimbrung dan mengatakan bahwa di
area transit mereka pasti akan nongol lagi. Sejak awal saya sebenarnya
sudah curiga dengan dua orang yang naik dari antah berantah itu. Seingat
saya dua penumpang ini tidak naik dari agen resmi. Mereka naik dari
sebuah pom bensin dan sepanjang perjalanan menggunakan masker. Padahal waktu itu belum musim Covid-19.
Mysterious Pax |
Setelah
semua penumpang masuk kecuali kondektur, bis mulai berjalan di jalanan
Kamboja yang berdebu. Beberapa penumpang yang cemas mulai saling bertanya-tanya
bahkan kepada sopir bus tentang keberadaan paspor mereka. "Wait.. You just wait" sopir menyuruh mereka menunggu. Mr. Ullman menoleh pada kami dibelakang, "I
know it's strange to leave your passport in the hands of a bus
conductor. But the Bavet border crossing has a rather streamlined
process and you should generally not worry about the passports." Kami berhenti setelah beberapa kilometer di sebuah restoran. Selain makanan tidak halal yang harganya overprice, disini ada beberapa orang yang menjual mata uang Riel Kamboja dan berbagai macam SIM card.
Beberapa penumpang nampak membeli SIM Card agar tetap terkoneksi dengan
media sosial atau orang tersayang. Saya tidak perlu, kan Viettel saya bisa roaming di Kamboja. Ngahahaha! *evil laugh*
SMS "roaming" dari operator |
"Well, even though the food was over-priced, you could use your leftover VND to pay for the meal and buy sim-card," saya terngiang perkataan Mr. Ullman. Yak, bagi yang masih punya sisa uang Vietnam, bisa dihabiskan disini.
Setelah 30 menit transit, penumpang kembali naik. Seiring bus berjalan,
kondektur membagikan paspor kami. Dan, hey, dua penumpang yang hilang
sudah nongol lagi. Hmmm. Yasudahlah ya, bukan urusan saya juga, at least we made our way into Cambodia safely. Bus berjalan, terlihat kasino besar dan kecil, berjajar di sepanjang jalan di kedua sisi.
Setelah gemerlap kasino, kontras yang paling jelas adalah kemiskinan Kamboja. Meskipun jalanan menuju Phnom Penh cukup bagus, tapi gambaran kehidupan masyarakat di dekat perbatasan Kamboja ini sangat berbeda dengan di Vietnam. Trotoar sebagian besar rusak atau digali atau hanya berupa tanah gersang. Barangkali masih sama dengan banyak daerah terpencil di Indonesia.
Sempat tertidur, saya terbangun ketika bis kami
berhenti sekali lagi di sebuah pom bensin sekitar pukul 14:30 untuk mengisi bahan bakar. Penumpang bisa ikutan turun untuk menggunakan toilet atau membeli camilan. Saya sedikit geli dengan nama
pom bensin ini: Tela. Sebagai seorang Jawa, saya mengartikan Tela
sebagai singkong. Tela: Power for Energy. Singkong: kekuatan untuk
energi. Hahaha!
Setelah gemerlap kasino, kontras yang paling jelas adalah kemiskinan Kamboja. Meskipun jalanan menuju Phnom Penh cukup bagus, tapi gambaran kehidupan masyarakat di dekat perbatasan Kamboja ini sangat berbeda dengan di Vietnam. Trotoar sebagian besar rusak atau digali atau hanya berupa tanah gersang. Barangkali masih sama dengan banyak daerah terpencil di Indonesia.
Dari jumlah bis yang transit, nampaknya Depot Tela ini adalah perhentian utama hampir semua bis jurusan Ho Chi Minh - Phnom Penh vice versa. Selain pom bensin, di Depot Tela ini juga terdapat mini market, kedai cemilan, bahkan tersedia semacam warteg.
Meski bernama mirip singkong, tentu saja mini market Tela Five Start Mart disini tidak menjual hal ihwal singkong semacam Tela-Tela Crispy atau Singkong Melepuh seperti di tanah air. Justru yang menarik perhatian saya, di mini market ini dijual ketapel. Iya, ketapel alias catapult alias slingshot. Tapi perhatikan, bagian bawah ketapel ini mirip dengan gantungan kunci atau suvenir yang biasa ditemui di Bali semacam Pasar Seni Sukowati misalnya. Paham ya? Wkwkwkwk.
Ketapel |
Setelah
sekitar 20 menit transit, bis kembali melaju. Menurut review yang saya
baca, ketika sudah sampai di Depot Tela ini, maka perjalanan menuju
Phnom Penh hanya tinggal 1,5 - 2 jam perjalanan tergantung lalu lintas.
Dimulai dengan pemandangan menakjubkan menyeberang Sungai Mekong melalui
jembatan Neak Loeung. Jembatan yang selintas mirip dengan Jembatan
Suramadu ini mempunyai panjang 2,2 km.
Bus berhenti sekitar pukul 16:00 di kantor agen Phuong Heng yang berada di dekat Olympic Stadium, Phnom Penh. Alhamdulillah, perjalanan darat ±7 jam ini berakhir juga. Kedatangan bus ini langsung disambut oleh gerombolan Tuk-Tuk. Saya pamitan dengan Mr. Ullman, Kim, dan Pinoy Girls. Cerita Pinoy Girls menyusul di postingan lain. Saya langsung menawar Tuk-Tuk, $3 untuk mengantarkan saya ke RS Guesthouse. Ah, kulonuwun Phnom Penh!
Ho Chi Minh City Trip: Part 1 | Part 2 | Part 3
Bus berhenti sekitar pukul 16:00 di kantor agen Phuong Heng yang berada di dekat Olympic Stadium, Phnom Penh. Alhamdulillah, perjalanan darat ±7 jam ini berakhir juga. Kedatangan bus ini langsung disambut oleh gerombolan Tuk-Tuk. Saya pamitan dengan Mr. Ullman, Kim, dan Pinoy Girls. Cerita Pinoy Girls menyusul di postingan lain. Saya langsung menawar Tuk-Tuk, $3 untuk mengantarkan saya ke RS Guesthouse. Ah, kulonuwun Phnom Penh!
Zig-zag in the traffic! |
Ho Chi Minh City Trip: Part 1 | Part 2 | Part 3