Singapura dari Ujung ke Ujung: Sebuah Panduan (Part 2)
2/01/2019 02:40:00 AM
Do you recognize this button? |
Itinerary Day #2
Meskipun Merlion berada dalam walkable distance, tapi hari ini kita belum kesana. Hari ini kita akan berkunjung ke destinasi yang tidak banyak dikunjungi pelancong Indonesia. Sebegitu perlunya saya mencetak tebal dan menggarisbawahi kalimat barusan. Oya, walaupun capsule pod yang saya inapi cukup kedap suara, sayup-sayup kita bisa mendengar adzan dari Masjid Jama'e Chulia. Bagi yang ingin melaksanakan sholat subuh, bisa langsung meluncur kesitu. Setelah menunaikan ibadah sholat subuh di Masjid Jama'e Chulia (ingat, blog ini adalah blog syariah 😋) saya segera bergegas menyelesaikan urusan mandi, berdandan rapi
Good morning, Chinatown! |
Clarke Quay via Melacca/Read Bridge |
Clarke Quay |
Empty Stroll |
Clarke Quay dari Fort Canning Park |
membangun kediamannya di sana. Tentu saja dengan bermukimnya Raffles disitu, maka banyak bangunan peninggalan kolonial Inggris yang saat ini masih tersisa. Selain historical site, dengan luas areanya Fort Canning Park bisa digunakan untuk berbagai macam aktivitas. Utamanya joging atau sekedar morning walk. Dan banyak sudut instagram-esque yang juga sering digunakan untuk
Raffles House |
Fort Canning Lighthouse |
Tomb of Prameswara (Courtesy Henrik Sundholm via Flickr) |
Fort Canning Green berlatar Gedung Fort Canning Art Center |
Deretan nisan di dinding Fort Canning Green |
Signage |
PM Kanada, Justin Trudeau di Fort Canning Green (Courtesy of Justin Trudeau via Flickr) |
Gothic Gate |
Dari Gothic Gate yang dekat dengan 12 nisan ini, kita keluar dan menuju Fort Canning Road. Karena berbelakangan langsung National Museum of Singapore, kita tinggal menyeberang dan mencari sisi depan dari museum ini.
Sisi belakang National Museum of Singapore |
National Museum of Singapore |
Jika kamu pernah membaca buku-buku Dan Brown, tidak diragukan lagi setidaknya kamu akan menemukan beberapa referensi tentang Freemasonry dan Knights Templar. Freemasonry pertama kali didirikan di Singapura pada 8 Desember 1845. FYI, Sir Stamford Raffles, Bapak Pendiri Singapura, adalah seorang Freemason.
Closer look |
Square & Compasses, widely known symbol of Freemasonry |
Bagian dalam Freemason Hall (Courtesy of expatliving.sg) |
Tekka Centre |
Tujuan utama saya adalah Allaudin's Biryani yang berada di hawker Tekka Centre ini. Sejauh saya kulineran di Negeri Singa, hanya Biryani di Zam-Zam Singapore yang bisa menandingi keistimewaan dari Allaudin's Biryani ini. CMIIW.
Crowd Hawker |
Yassss! |
Chicken Briyani Set |
Mutton (domba), Chicken maupun Fish Biryani semua berharga $5. Sayang hari ini Mutton Briyani belum siap, mungkin karena datang kepagian. Padahal Mutton Briyani di Allaudin's Biryani ini yang paling istimewa. Jadi, kali ini saya memesan Chicken Biryani yang datang dengan semangkuk kuah kari dengan semacam tetelan daging sapi.. Nah, bagi tidak menghendaki masakan Asia Selatan (India, Pakistan dll), di Tekka Centre juga tersedia menu masakan oriental, chinese food (mostly non-halal) dan ada beberapai kedai Melayu/Nusantara juga! Usai makan, saatnya kita berkeliling Little India. Mulailah dengan menuju Kerbau Road. Ada banyak petunjuk jalan kesana terutama signage bertuliskan Little India Art Belts.
Kalian tidak salah alamat yang benar apabila setelah melihat signage diatas, kalian akan disambut dengan mural Sapi/Kerbau berwarna-warni berikut.
Diujung Kerbau Road ini terdapat bangunan yang cukup ikonik di Little India. Bangunan berwarna-warni ini adalah Former House of Tan Teng Niah. Dibangun pada tahun 1900, bangunan ini merupakan vila Cina terakhir yang bertahan di Little India.
Tan Teng Niah adalah seorang towkay (pengusaha Cina yang bereputasi baik) yang memiliki beberapa pabrik pembuatan permen di sepanjang Serangoon Road yang menggunakan tebu untuk produksinya.
House of Tan Teng Niah (Courtesy of Roots.sg) |
Kuil Sri Veeramakaliamman adalah kuil pertama di Singapura yang didedikasikan untuk Veeramakaliamman atau Dewi Kali. Kuil ini awalnya dikenal dalam bahasa Tamil sebagai Soonambu Kambam Kovil atau “Temple of The Lime Village" kuil di desa kapur karena ditemukan tempat pengolahan batu kapur di daerah tersebut. Diyakini bahwa pekerja Tamil yang mengerjakan lubang kapur di Kampong Kapor mendirikan sebuah kuil (Shrine) yang didedikasikan untuk Veeramakaliamman di situs ini pada awal tahun 1855. Sebuah kuil (Temple) kemudian dibangun oleh buruh Bengali pada tahun 1881.
Seperti semua tempat peribadatan di Singapura, kita pun juga boleh berkunjung ke kuil sebagai turis. Dari Kuil Sri Veeramakaliamman saya beringsut menuju Masjid Abdul Gafoor. Masjid ini terletak di Dunloop St. Dari arah Kuil Sri Veeramakaliamman carilah arah menuju Komala Vilas Restaurant. Dunlop St berlokasi dekat dengan restoran populer ini. Oya, Komala Vilas adalah salah satu restoran vegetarian India tertua di Singapura sejak tahun 1947. Jadi, insyaAllah penduduk Little India paham dimana letaknya, ya, just in chase you need to ask the direction. Berikut ini adalah laporan pandangan mata selama perjalanan menuju Masjid Abdul Gafoor.
Kalau ada yang bertanya apakah sepanjang jalan ketemu dengan rombongan penari/penyanyi layaknya adegan film Bollywood? Jawabannya, TIDAK. Yakali ah pertanyaannya! Tapi datanglah ke Little India saat perayaan Deepavali, sekitar akhir Oktober atau awal November. Akan banyak kemeriahan, karnaval dan festival.
Masjid Abdul Gafoor |
Bule Bergamis |
Masjid Hajjah Fatimah adalah salah satu masjid tertua di Singapura. Arsitektur eklektiknya yang unik menonjol dari masjid-masjid lain di Singapura, terutama dengan menara bergaya Eropa yang agak miring. Its combines both Indo-Islamic with European features in its architecture!
Masjid ini dirancang oleh arsitek Inggris yang tidak disebutkan namanya. Beberapa info mengatakan bahwa menara ini dirancang oleh John Turnbull Thomson karena arsitektur menaranya dianggap memiliki kesamaan dengan desain menara pertama Saint Andrew Church, namun tidak ada bukti otentik yang mengkonfirmasi hal ini. Sejarah lengkap bisa kamu baca di Roots.sg. Oya, sama dengan Masjid Sultan, di Masjid Hajjah Fatimah ini khutbah Jumat dibacakan dalam bahasa Melayu.
Dari Masjid Hajjah Fatimah saya menyeberang Beach Rd menuju stasiun MRT Nicchol Highway. Naiklah MRT Circle Line menuju stasiun Dakota. Keluarlah menuju pintu keluar Exit A. Dari situ naik Bus 33 menuju halte Aft Koon Seng Rd. Perhatikan sisi kiri-kanan, salah satu indikator kamu akan sampai halte tersebut adalah deretan rumah dengan eksterior khas peranakan yang memang menjadi daya tarik utama daerah Katong. Halte Aft Koon Seng Rd berada di Tembeling Rd yang persis berada di sisi kiri setelah bus berbelok kiri melewati Rumah Peranakan tersebut. Oya, bagi yang tidak sempat main-main ke Katong, replika rumah-rumah Peranakan ini juga bisa ditemui di Terminal 4 Changi lho!
Peranakan House (Sisi Kiri) |
Peranakan House (Sisi Kanan) |
Di Singapura, warisan budaya Peranakan terawat dengan baik di Katong/Joo Chiat. Tak hanya bentuk fisik bangunan tapi di daerah ini pulalah asal mula dari Laksa Singapora yang termasyur itu. Inilah tujuan utama saya berkunjung ke daerah East Coast demi mampir ke kedai 328 Katong Laksa. Kedai ini disebut-sebut sebagai salah satu restoran laksa terbaik di Singapura. Bahkan sekelas Gordon Ramsay datang jauh-jauh dan kemudian mengakui kenikmatan dan uniknya rasa dari mi kuah khas Singapura tersebut.
Gordon Ramsay (Courtesy Shirly Hamra via Flickr) |
Screenshoot dari Google Street View |
Laksa (Small) + Fresh Lime Juice |
Menu |
Laksa (Large) + Otah + Fresh Lime Juice |
Dari 328 Katong Laksa, saya akan melanjutkan perjalanan ke Changi Village yang persis berada di utara Bandara Changi sekaligus menjadi ujung paling timur dan utara dari Singapura. Oya, sekitar 100 meter dari 328 Katong Laksa, terdapat kuil Sri Senpaga Vinayagar pada sisi kiri Ceylon Rd. Bagi yang mau nambah stok foto bisa meluangkan waktu kesitu. Cukup instagramable dan lumayanlah buat ngisi instastory kalian!
Kuil Sri Senpaga Vinayagar |
Bus 14 |
Bus 2 |
Instastory Mode :p |
Ada beberapa titik masuk ke Changi Point Coastal Walk. Yang termudah adalah di sebelah Terminal Changi Ferry Point, terminal feri yang sama di mana kita bisa naik bumboat ke Pulau Ubin. Di seberang terminal ferry terdapat lahan menyerupai pulau kecil yang disebut dengan Changi Beach Park (area hijau di Google Map).
Terminal Ferry |
Changi Beach biasanya akan ramai saat akhir pekan terutama saat pagi dan sore. Saat weekday umumnya ya sepi, cuma nampak beberapa Singaporean yang ada disitu. Oya, bagi yang malas berjalan kaki, Changi Beach Park juga menyewakan sepeda untuk digunakan berkeliling.
Di ujung Changi Beach, Coastal End terdapat sebuah monumen/patung jari yang cukup ikonik. Monumen/Patung tangan teracung ini merupakan karya Lim Soo Ngee pada tahun 2016 yang bernama Inscription of the Island dan sempat dipamerkan di Singapore National Museum.
Okay, without further ado, here's the sunset I am waiting for.
Usai menuntaskan hasrat ke-indie-an dengan berburu matahari terbenam saat senja, saya beringsut pulang. Saya berjalan menuju Loyang Ave. Dari halte manapun di Loyang Ave, kita bisa naik bis 9, 19, 59 menuju halte Blk 390/Opp Tampines JC. Kemudian turunlah ke stasiun MRT Tampines East. Naiklah MRT Downtown Line tersebut menuju Chinatown. Sesampainya di Chinatown saya menuju daerah Ann Siang Hill untuk makan malam di Tok Tok.
Ann Siang Hill |
Nasi Campur Bali |
Citarasa Nusantara! |
"Layar Sentuh" khas Warteg |
Menu |
Tok Tok |
Bersambung ke Part-3...
1 komentar
nungguin nextnyaaa :)
BalasHapus