Phnom Penh dan Cerita di Bandara (Bagian 1)

11/02/2021 08:16:00 PM

Sekitar pukul 05.00 pagi usai check out, sebuah Tuk-tuk atau lebih tepatnya Bajaj berwarna kuning, nongol di depan penginapan. Setelah mencocokkan nomor kendaraan P3931, saya langsung naik dan tanpa basa-basi, Mamas driver bertopi ini langsung tancap gas menuju bandara. Yah, kebanyakan driver tuk-tuk atau motodop disini memang jarang berbasa-basi kecuali tawar-menawar sebelum jalan, berbeda dengan di Bangkok atau Ho Chi Minh City yang aktif banget nanyain dan nyaranin ini itu. Heboh!

Tuk-Tuk

Saya menggunakan aplikasi PassApp karena menurut Hiro, ini adalah aplikasi ojol paling murah se-Phnom Penh. Oya, Japanglish Class bersama Hiro (dan Irna) akan saya ceritakan belakangan. Dari penginapan ke bandara, menempuh jarak 11,9 km selama 20 menit dan saya perlu membayar 15.421,49 KHR (Khmer Riel, atau Riel Kamboja). Sebelum membahas pembayaran PassApp saya, terlebih dahulu perlu kita luruskan sedikit mengenai berita di tanah air yang selalu memasukkan Kamboja dalam 7 Negara Termurah versi On The Spot!

Mata Uang Kamboja

Meskipun mata uang nasional Kamboja adalah Riel, dalam kenyataannya, proses jual beli di seantero Phnom Penh ini menggunakan Dollar Amerika ($) dan hanya sisa kembaliannya saja yang akan diberikan dalam bentuk Riel. Hitungannya, $1 = 4000 KHR. Jadi, dalam hal pembayaran PassApp saya, 15.421,49 KHR dapat dikonversikan menjadi $3 + 3421 KHR. Atau jika, kita membayar dalam pecahan $4 (16.000 KHR) maka kita akan mendapat kembalian sekitar 579 KHR. 

 

Oke, dalam hal PassApp ini, kalaulah pembayaran dibulatkan menjadi 16.000 KHR ($4) ketika dikonversi ke rupiah sekitar Rp. 56.000, tidak terlalu mahal untuk akses transportasi ke bandara sepagi itu. Tapi, sarapan saya di Warung Bali tempo hari, Nasi Goreng Sapi 13.000 KHR + Es Teh Manis 2000 KHR = 15.000 KHR, atau hampir $4. Jika dikonversikan ke rupiah untuk sekali makan, hmmm, padahal di Singapura $S3,5 saja kita sudah makan kenyang lho, dan bahkan banyak hawker yang menawarkan harga dibawah itu. Sama halnya dengan di Bangkok yang paling-paling ฿80. Tahukah kalian bahwa $S3,5 atau ฿80 hanya sekitar Rp.37.000 atau $2,6 saja? Wkwkwkwk.

Pukul 05:35 saya sampai Airport yang kala itu masih dalam tahap renovasi. Diluarnya rame tapi didalamnya sepi. Ternyata counter check in belum pada buka, Kiosk bahkan tidak tersedia. Hmm. Semalam, Japanglish Class membuat saya lupa melakukan web check in. Niat datang gasik demi upgrade tempat duduk lewat counter check in mengamankan hotseat gitu biar lebih nyaman. Counter check in baru buka 06:30 dan dapet antrian ditengah. Pas sampe depan, ternyata penerbangan hari itu fullbook dong. Yasudah, pasrah dapet kursi tengah 18B.

Usai mendapatkan boarding pass, saya beringsut ke lantai dua untuk menuju imigrasi. Antrian cukup lengang. "How was your trip in Phnom Penh, Sir?" ujar mas petugas Imigrasi sembari menerima paspor saya. "Well, I can say it was great. My friend works in Phnom Penh and, yeah, we were able to go out together..." belum selesai kalimat saya, mas petugas Imigrasi ini langsung menyela "You don't work in Phnom Penh do you?" sambil memperhatikan saya dengan seksama. "Of course not, do I look like an expat?" jawab saya santai. "You don't think that I'm an illegal worker, do you?" entah kenapa pertanyaan itu yang muncul dari mulut saya. "You look like a normal traveler, Sir," jawabnya dengan agak terkekeh sembari ngecap paspor saya. "Have a nice flight" mas petugas menyodorkan paspor saya. "Thank you!" Kemudian perjalanan menuju Security Check saya habiskan dengan berpikir keras, "Raiku gak cocok dadi ekspat. Rai gembel!" *insert sad emoji*

Passport Control

Tepat setelah Passport Control sebelum masuk area transit, terdapat Security Check. Kalau di Changi atau KLIA umumnya ada didepan boarding gate masing-masing, tapi disini semua disatuin di satu lokasi. Biasanya kita diminta melepas jaket dan barang dari logam seperti ikat pinggang atau jam tangan. Nah, di Phnom Penh Internasional Airport ini, kita juga diharuskan mencopot sepatu. Ya. Jadi kita melewati gawang detektor logam hanya memegang paspor + boarding pass, sedangkan semua barang kita termasuk sepatu akan masuk mesin pemindai Sinar-X. Baru pernah saya melewati gawang detektor logam dalam keadaan nyeker. Huft. Rai Gembel!

Duty Free

Kita ketahui bersama bahwa di hampir semua Terminal Internasional di Bandara manapun, kita diharuskan melewati deretan Duty Free sebelum mencapai boarding gate. Ya, kali ini pun deretan Duty Free "memaksa" saya menghabiskan sisa local currency yang saya bawa. Local Currency disini artinya USD ya bukan KHR. Saya tertarik membeli cokelat Kamboja dan beberapa magnet kulkas untuk oleh-oleh dikantor. Usai menyelesaikan pembayaran, sebuah suara muncul dari riuh rendah suasana bandara pagi itu. "Hey, Indonesian guy!" Saya hampir celingukan tapi berusaha cuek, karena bisa jadi panggilan tersebut bukan untuk saya. Kan bukan saya saja dong laki-laki Indonesia yang jalan-jalan ke Phnom Penh? Trus, selama melancong di negeri asing, saya juga lebih sering dikira sebagai pelancong dari negara lain di ASEAN yang bukan Indonesia.

Cambodian Chocolate

"Indonesian guy!" suara itu datang lagi. Kali ini nampak semakin dekat. Saya tetap cuek. Sampai kemudian ada tepukan dipundak saya. Dheg! Apakah saya kena gendam? Duh, Gusti! Sejurus kemudian saya nengok pelan-pelan dan voila! ada 4 dedek gemes perempuan tersenyum pada saya. Lho, Pinoy Girls! Dengan senyum riang Erica langsung nyeletuk ke Jessa "Told you, Jess! I recognize him because his outfit is the same as the one he wore on the bus the other day!" Sial. Baju yang sama. Rai Gembel! Bagi yang belum baca cerita saya sebis dengan Pinoy Girl menyeberang dari Vietnam ke Kamboja, silakan klik disini.

Jessa, Erica, Anne dan Stephanie

Kami akhirnya duduk ngobrol karena penerbangan kami ternyata menggunakan boarding gate yang sama namun garbaratanya berbeda. Bahkan jadwal penerbangan AirAsia kami hanya terpaut 5 menit. Penerbangan saya AK537 08:20 dan penerbangan mereka FD609 pukul 08:25. Jadi, mereka berempat ini sedang traveling borongan. Dari Manila mereka ke Ho Chi Minh City (Vietnam), kemudian sebis dengan saya menuju Phnom Penh (Kamboja). Sekarang ini mereka hendak ke Bangkok (Thailand) dan akan menuntaskan perjalanan ke Kuala Lumpur (Malaysia) sebelum bertolak ke Manila lagi. Sugih duit tibake bocah-bocah iki!

Setelah duduk, obrolan dibuka dengan pertanyaan Erica "Why didn't you answer my calls right away? Kemudian saya ceritakanlah alasan-alasan saya diatas. Tentu saja tidak saya ceritakan sempat mengira akan kena gendam, karena tentu saja mereka tidak tahu apa itu gendam. Mendengar saya menguraikan alasan, Jessa pun nimpalin "Kalau tempo hari tidak ada obrolan dengan Mr. Ullman, kami sebenarnya sempat mengira kamu adalah orang Moro," Oya, FYI, Moro adalah etnis minoritas muslim di Filipina selatan. Saya kemudian bercerita tentang kejadian pagi pertama di Phnom Penh saat sarapan di Warung Bali

The one and only Warung Bali

Pagi itu saya memesan Nasi Goreng Sapi + Toping Telor Ceplok ditemani segelas es teh manis yang rasanya mirip kaya teh sariwangi. Sembari menikmati sarapan, tiba-tiba datang rombongan Buibuk 4 orang yang duduk di seberang meja saya. Karena obrolan Buibuk tadi penuh dengan aksen "lo-gue", saya sempat beberapa kali melirik dan hendak menyapa sebagai sesama pelancong Nusantara. Tapi buibuk yang duduk searah menyimpang dari saya justru menyapa duluan "Sawadee kaap! (สวัสดี ครับ)" sambil mengatupkan tangan. Glek! Hampir keselek, saya langsung membalas sembari mengusahakan aksen terbaik yang saya ingat dari film-film Thailand "Sawadee kaa (สวัสดี ค่ะ)" Dengan sumringah buibuk yang lain malah ikut mengatupkan tangan sambil melemparkan senyum dan mengangguk ke saya. Waduh, jadi orang Thailand nih saya!

Nasi Goreng Sapi + Toping Telor Ceplok

"Have you been to Indonesia before? Bali maybe?" lanjut buibuk tadi. "Yes, of course. My uncle's house is in Sanur. I've visited him several times." Singkat cerita buibuk ini makin bersemangat menanyakan satu dua hal soal Bali dan Bangkok. Untungnya Pakde saya memang tinggal di Sanur dan saya juga pernah main ke Bangkok. Tibalah saat mas waiter mengantarkan uang kembalian dan saya reflek berucap "Terima kasih, Mas!" Buibuk tadi langsung menimpali "How can you speak Bahasa?" "Lha kan saya orang Indonesia, Buk!" "Owalaaaaahh..." 

Seat 18B

Singkat cerita, akhirnya kami pamitan karena pesawat saya sudah siap dan penumpang sudah dipersilakan masuk. Ada cerita tentang jalan-jalan saya dan cerita jalan-jalannya Pinoy Girls yang saya tulis terpisah di selanjutnya. Didalam pesawat, sudah ada seorang laki-laki paruh baya dengan paspor Malaysia di tray table-nya. Dia di 18A, kemudian saya di kursi 18B dan 18C ada seorang perempuan muda yang pasangannya, mungkin pacar, ada diseberang kursi 18D. Sama-sama terpisah karena duduk di aisle seat berseberangan.Kira-kira layout seat AirAsia seperti ini

AirAsia seat taken from Seatguru.com


Perempuan ini sempat minta ijin apakah boleh jika pacarnya tukeran tempat duduk dengan saya. Jadi mas pacar pindah di 18B dan saya pindah ke 18D. Tentu saja saya mau daripada duduk ditengah. Tapi rupanya, mas pacar tidak mau pindah ke 18B. Dia maunya duduk 18C dan perempuan itu yang duduk di 18B. Obrolan dengan aksen Singlish itu pun mulai meninggi. Hingga akhirnya tidak ada yang mau ngalah dan sama-sama keukeuh pengen duduk di aisle seat, ujungnya mereka marahan dong sepanjang penerbangan. Perempuan sebelah saya bahkan mendiamkan pacarnya yang beberapa kali berusaha ngajak ngobrol sepanjang perjalanan. Bahkan yang perempuan sampai menolak ditawarin inflight meal. Hahaha.

Inflight Meal: Asian Fried Rice with Chicken Satay

Tepat 11:15 pesawat AirAsia saya mendarat dengan selamat di KLIA2. Jadi, awalnya saya hendak naik AirAsia Phnom Penh - Kuala Lumpur - Jakarta dengan opsi transit di Kuala Lumpur. Tapi, AirAsia sektor Kuala Lumpur - Jakarta waktu itu hanya tersedia penerbangan diatas pukul 17:30. Karena harus mengejar jadwal kereta dari Jakarta - Purwokerto pukul 20:45, biar tidak mepet dan punya waktu agak longgar, maka saya mencari opsi penerbangan lain yaitu Malaysia Airlines dengan waktu keberangkatan pukul 16:30.

KLIA 2 Arrival Hall

KLIA 2 infamous long walk

KLIA 2 main attraction

Nah, tempat parkir Malaysia Airline ada di KLIA sebagai Main Terminal, terpisah dari KLIA 2 yang merupakan markas AirAsia sebagai Low Cost Carrier. Untuk berpindah terminal, maka mau tidak mau harus melewati imigrasi dulu. Sedangkan seperti kita tahu, imigrasi di KLIA 2 selalu semrawut dengan antrian mengular panjang yang khas. (((khas))) Hah, Nasib! Seandainya KLIA itu se-convenience Changi, tinggal naik Skytrain buat pindah terminal, gratis pula. KLIA Express kudu bayar RM2.

Usai merampungkan antrian imigrasi yang panjang dan melelahkan itu, saya sempat menukarkan beberapa sisa mata uang Vietnam Dong ke Ringgit Malaysia. Tentu saja di bank kebanggaan para frequent flyer Airasia (pada jamannya) CIMB Niaga. Kenapa CIMB Niaga, jawabannya ada pada postingan saya disini. Tujuan saya menukar uang tidak lain karena, saya berencana makan siang di airside KLIA dan sudah pasti saya perlu uang cash untuk membayar tiket KLIA Express dari KLIA 2 ke KLIA.

Vietnam Dong

Saya langsung turun ke lower ground untuk naik KLIA Express. Sempat buka-buka web-check in Malaysia Airlines berharap bisa milih tempat duduk yang lebih oke daripada penerbangan sebelumnya. Long down scroll... ya memang masih ada sekitar 10-an kursi kosong, tapi semuanya adalah kursi tengah dan persis berada dibagian tengah sayap kiri kanan alias kalau dapet window seat pun bakalan nggak ada view-nya. Hah, nasib!

KLIA Check In Counter

Saya langsung menuju ke check in counters naruh koper, ambil boarding pass, rampungin imigrasi, dan saya langsung mencari Old Town White Coffee. Makan mie, ngopi, dan nontonin pesawat wira-wiri sembari menunggu waktu boarding.

Boarding Pass

Ternyata bosen nontonin pesawat yang cuman Malaysia Airlines melulu, akhirnya saya jalan ke boarding gate. Sempat mampir mushola untuk menjamak sholat, disini saya bertemu banyak rombongan umroh asal Indonesia dengan seragam batik khasnya. Itungannya emang jauh lebih murah terbang dari Kuala Lumpur daripada direct flight dari Jakarta. Saya kemudian duduk dikursi tunggu di depan gate H8, mengambil kamera DSLR dan mulai melihat-lihat hasil jepretan saya selama di Vietnam dan Kamboja. 

Tak lama beberapa calon penumpang nampak mulai memenuhi tempat duduk. Dua diantaranya tiba-tiba menyapa saya menggunakan bahasa yang tidak saya kenal, namun dari tangkapan saya, aksen mereka cukup friendly. Kami saling bingung. Saya tidak mengerti bahasa mereka dan mereka nampaknya merasa aneh kenapa saya tidak mengerti bahasa mereka. Saya langsung melirik paspor digenggaman mereka, warna Burgundy, antara Kamboja, Philipina, Thailand atau Timor Leste. Bahasa yang paling tidak familiar bagi saya adalah Filipina, Tagalog. "Kumusta! Kumusta po kayo?" saya menyapa dalam bahasa Tagalog. Krik! Saya mengulangi lagi sapaan kali ini dengan yang lebih non formal mengingat mereka nampak seumuran dengan saya "Ano na!" Mereka berdua malah terkekeh dan tetap ngobrol dengan bahasa yang tidak saya kenal. Kemudian mereka sedikit membungkukan badan dan pergi. Krik! Nampaknya saya bukanlah rekan senegara yang mereka cari. Entahlah. Krik! Meski begitu saya tetap mengucapkan salam perpisahan dalam bahasa Tagalog. "Paalam. Ingat!"

Boarding room

Today's Bird 9M-MXN

Pukul 15:30 satu persatu penumpang mulai memasuki gate H8 setelah menyelesaikan security check. Saya sempat celingukan mencari dua penumpang berpaspor warna Burgundy yang tadi menyapa saya dengan bahasa aneh. Beberapa saat kemudian panggilan boarding pun dimulai. Saya duduk manis di kursi 10E dan mulai mengecek AVOD. Ada beberapa pilihan film yang kebanyakan sudah saya tonton kecuali film Malaysia. Pilihan musik yang cukup beragam tapi tetap belum ada list musik metal seperti di Air France. Flight Report saya naik Air France bisa dibaca disini.

AVOD

Pesawat take off tepat waktu. Saya mulai memasang headset dan memilih beberapa lagu populer untuk sekedar memberikan hiburan, menemani flight yang sedari leg Phnom Penh selalu dapat kursi tengah. Tak lama pramugari mulai membagikan inflight meal. Saya mendapatkan Nasi Lemak Sambal Udang. Makan sore itu saya tuntaskan dengan segelas sprite. Ada sedikit keributan di bangku belakang. Nampaknya ada balita rewel. Rupanya, penumpang sebelah saya di 10D adalah bapak dari anak tersebut. Entah bagaimana ceritanya, rombongan keluarga itu duduk terpisah-pisah. Akhirnya ada pergantian tempat duduk bagi beberapa penumpang memberikan kesempatan bagi keluarga tersebut untuk berkumpul. Seorang bapak-bapak berbaju polo warna navy datang menggantikan bapak dari balita yang rewel tersebut.

Nasi Lemak Sambal Udang

"Disini nampaknya sedikit lebih tenang" ujarnya sembari tersenyum ramah pada saya. Saya hanya membalas senyum dengan sedikit mengangguk. "Liburan di Kuala Lumpur?" tanyanya dengan logat yang sangat Indonesia. "Transit saja tadi Pak, saya terbang dari Kamboja" Bapak itu manggut-manggut. "Bahasa Indonesia bapak sangat bagus, tapi saya yakin bapak bukan orang Indonesia," saya pun nyeletuk. Bapak itu sedikit terkekeh. "Betul. Saya orang Malaysia, tapi sudah lama kerja di Indonesia." Giliran saya yang manggut-manggut. "Abu Bakar" ujarnya sembari mengulurkan tangan. "Widiiih.. sahabat Nabi nih" batin saya. Saya menjabat tangannya memperkenalkan diri. Jadi Pak Abu Bakar ini sudah lama kerja di Indonesia, lebih tepatnya di Bandung. Sama seperti saya, beliau kehabisan kursi AirAsia (dan Malindo Air) ke Bandung. Jadi memilih untuk terbang ke Jakarta dan nanti lanjut ke Bandung naik DAMRI. Saya kira bakalan naik Argo Parahyangan jadi setidaknya bakal ada teman ngobrol sampai ke Gambir.

Hello, SHIA!

Pesawat landing tepat waktu dan merapat di Terminal 2 Soekarno Hatta International Airport. Saya dan Pak Abu Bakar merampungkan urusan imigrasi, ngantri conveyor belt hingga akhirnya berpisah di Halte Bus Terminal 2 karena begitu sampai sana sudah ada bus Primajasa tujuan Bandung. Selama ngobrol dengan Pak Abu Bakar, saya sempat teringat Ayah saya. Dulu sewaktu SD, ayah saya sempat bekerja di Malaysia sampai akhirnya resign karena tidak kuat berlama-lama LDR-an dengan keluarganya. Pada jamannya, perjalanan lintas negara tidak semudah dan semurah masa sekarang. Hehehe. Cukup lama menunggu akhirnya DAMRI yang akan membawa saya ke Stasiun Gambir datang juga.

Courtesy of handphone china berawalan huruf X, burem bun!

Part-1 dicukupkan sampai disini, ceritanya memang sengaja dibalik, perjalanan pulang dulu, baru diceritain lengkap travelingnya. Sampai jumpa pada bagian selanjutnya, terima kasih sudah membaca!




_________________

PS: Foto Pinoy Girl diatas adalah ROUGE, all-female pop rock band dari Filipina. Nama-nama Pinoy Girl dan semua ceritanya nyata adanya, saya tidak mengarang sedikitpun. Tapi memang saya tidak punya foto Pinoy Girl, jadi saya ganti dengan ROUGE. Biar feel-nya dapet. Hehehe.

 

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images

Instagram